cerpen


 Cinta Sang Pejalan
Kampus tak seperti apa yang didambakan waktu SMA, kampus di era saat ini, hampir mirip dengan dinamika SMA saja, yang ada hanya datang kampus nunggu dosen, ngerjain tugas, bedanya hanya cara berpakaian dan pangkat nama yang naik dari siswa jadi mahasiswa.
Namaku arjun, aku dikenal mahasiswa yang paling urakan dan tak punya masa depan, aku banyak  berbeda dengan teman-teman seangkatanku, yang aktifiasnya hanya  jadi kerbau atau biasa disebut penurut apa mau dosen. Banyak hal-hal gila yang perna aku lakukan, kenapa aku katakan gila karena teman-temanku menyebut itu gila, mungkin bagi mereka yang tak paham bahwa sejatinya melawan adalah siap di asingkan seperti apa yang disampaikan sio hok gie “ lebih baik di asingkan dari pada hidup dalam kemunafikan” aku menolak segalah sesuatu yang bertolak belakang dengan isi hatiku.
Waktu terus berjalan, tahun berganti tahun, aku dilebeli mahasiswa tua dikampus. Mungkin benar kata gie “ melwan itu siap diasingkan”, aku punya beberapa teman yang pernah sama-sama berkreatifitas dalam kegilaan kini berbelok alur dan memilih tunduk untuk cepat menyelesaikan studi karena desakan orang tua. Suasana kelas sangat membosankan hari ini ketika aku turun kontrak mata kulia bersama ade tingkatku, sebab yang disampaikan dosen hanya isi-isi buku yang dibaca kembali, banyak dosen yang tidak punya dedikasi dalam mengajar hingga tak bisa dipungkiri banyak sarjana yang diciptakan belum siap menghadapi dunia luar. Setelah perkuliahan selesai aku menyusuri lorong kampus mencari tempat untuk membuka lembaran-lembaran buku yang telah jarang diminati mahasiswa saat ini, ketika berjalan menaiki tangga aku menabrak puan berkebaya merah. “maaf yah” kataku, “tidak apa” jawabnya. Dan dia pun berlalu. Sesingkat pertemuan itu, menghanyutkan aku dalam penyesalan yang begitu besar, mengapa aku tidak bertanya namanya? Semester berapa?program studi apa? Kataku dalam hati
Tak disangka waktupun berkonspirasi, “kesempatan kataku” kataku, ketika ku lihat ia sedang diemperan kampus duduk sambil membaca buku, aku pun mencari celah dan duduk mendekatinya. “eh cewe, kamu yang kamirin aku nabrak kan? Kataku untuk memulai percakapan, “saya” jawab dia, “lagi baca buku apa?, kataku, “nggak, cuma baca buku novel pejalan anarki aja” jawab dia, “ oooh karangan Jazuli Imam yah” kataku, obrolan kami terus bergulir hingga aku tak sadar bahwa jadwal mata kuliaku telah lewat 30 menit, fikirku dalam hati, “ dari pada aku dengarin ceramah dosen yang buat ngantuk lebih baik aku bebagi cerita dalam cinta yang tumbuh dalam diam kepada Afifa”
Namanya Afifah mahasiswa Bhs Inggris semester 4, Afifa mahasiswa yang paling cerdas, hingga semester 4 ini nilai IPKnya selalu tinggi, aktifitas Afifa di waktu luang ketika belum ada jadwal mata kulia ia suka membaca novel. Pertemuan kedua itu meninggalkan banyak jejak misteri yang harus dituntaskan. Bosan tentang ceramah dosan kini beralih menjadi cerita puan berkebaya merah yang sesekali menghantui aku dalam kesendirian, ia datang laksana angin, yang datang sesuka hati dan pergi tanpa permisi.
Aku yang sesekali bosan ketika harus pergi kampus di pagi hari, kini aku bagai mahasiswa baru yang saking terlalu barunya aku mengenal dia, membuat hatiku membangun kompromi dengan kedua kakiku untuk berjalan ke kampus di pagi hari, hanya demi satu tujuan bertemu dengan puan berkabaya merah. Namun semuah tak sesuai seperti yang direncanakan, ketika aku menunggu dia di halaman leb bahasa Indonesia tempat yang biasa ia lewat, yang ketemukan hanya gelisah dan sejutah pertanyaan di kepalah. Apakah dia tidak ke kampus hari ini, atau jangan-jangan ia sudah lewat? Kataku dalam hati, pertanyaan itu menguatkan aku untuk mencarinya di kelas, ada hasil yang ku dapat, tapi bukan dia yang ku dapat tapi kenalanku yang satu kelas dengan Afifa, aku pun bertanya tentang Afifa di kenalanku yang bernama Doni.
Aku : don kamu liat Afifa?
Don : ah kamu ada perlu apa dengan Afifa, jangan-jangan? Jawab don dengan penuh curiga.
Aku: ah nggak ah, aku ada perlu dengan dia?
Don : ohh, Afifa ada sakit hari ini.
Aku : sakit apa don?
Don : kata keting sih, dia sakit mag, mungkin terlambat makan tu?
Aku : boleh aku minta nama akun fecbooknya?
Don : aku semakin curiga ni?
Aku : ah don, aku ada perlu dengan dia, serius aku tidak bohong?
Don: nama akunya Afifah ratnasari
Aku : makasi don, aku cabut dulu yah.
Pertemuanku dengan don menjadi awal kehidupan baru bagi sang pajalan yang urakan dan dibenci dosen ini kembali tersenyum sepanjang malam. Hingga tak sadar jemariku perlahan menari dengan tintah hitam, bercerita tentang semesta yang berkonspirasi dalam alunan-alunan rindu sejak mata bertemu mata di pertemuan pertama. “ mungkin semesta punya maksud” pikirku dalam gelap yang pekat. Tak terasa 3 batang rokok dan secangkir kopi tinggal abu dan ampas, jam dindingpun telah menunjukan pukul empat subuh, rasa kantukpun mengajak aku untuk kembali mengasa rasa dalam mimpi.
Mentari telah menyising di ufuk timur, masuk melewati etalase kamarku dan membangunkan aku lewat cahayanya, dalam kondisi yang masih kantuk aku memaksakan untuk bangun, bukan untuk mengikuti kulia pagi ini tapi untuk misi semesta yang memberi isyarat lewat mata yang sempat ku tatap beberapa hari lalu.
Siang itu di kampus, aku merasa panas tapi tersa mendung, emosi bercampur cemburu menghantui kepalahku, rasa yang dibangun dengan keyakinan kini menyerah tanpa syarat, ku caci dan ku hina diriku sendiri, “bodoh, mengapa dari awal tidak aku Tanya padanya, apakah tangan ini sudah ada yang menggenggam?. Penyesalan pun tidak ada arti, nasi telah jadi bubur.
Dia yang kupuja sejak awal pertemuan, telah membagi rasa dengan lelaki lain, mungkin tidak ada kata terlambat bagiku, tapi satu prinsipku bahwa apa yang aku rasa harus dituntaskan, sore itu aku menunggu Afifa pulang kampus, ketika ia keluar dari gerbang kampus aku memangilnya.
Aku : afifa ?
Afifa : iya, eh mas bagaimana kabarnya, kata doni kamu cariin aku yah, emangnya ada perlu apa yah.
Aku: baik-baik saja, seperti yang kamu liat, sebenarnya aku mau katakana sesuatu, tapi ku pikir apa yang kukatakan, tidak butuh responmu afifah
Afifa: maksudnya ?
Aku : afifah, dilangit semesta aku gantungkan doa tentangmu, tentang rindu yang kian menyiksa hati dan kepalahku, tapi ku pikir semua telah jelas, dan hari ini aku Cuma mau sampaikan bahwa aku mencintaimu sejak awal pertemuan.
Afifa : jun, bagaimana kau bisa mencintai aku dalam waktu 4 hari.
Aku: afifa mencintai tak butuh banyak waktu, sebab bicara rasa cukup meyakini. Cinta itu misteri afifa, kau tak tau kapan cinta datang dan kapan cinta pergi.
Afifah: tapi jun. aku
Aku : tidak perlu dilanjutkan, aku sudah tau jawabanya, hari ini aku hanya menuntaskan rasa, sebab mencintaimu aku tak butuh kau harus jawab iya atu tidak, sebab cintaku tumbuh bersama doa yang ku yakini dalam amin.
Peristiwa sore itu menjadi akhir penuntasan rasa seorang pejalan yang mencoba mengisi hati yang kosong dengan puan berkabaya merah, tak disangka semesta pandai berkonspirasi, ucap aku sambil menghisap kretek dan menciduk sisa-sisa ampas kopi di ujung senja.
Izinkan aku mencintaimu dalam doa
Laksana butir-butir rasa yang tumbuh dalam dada
Yakini aku bahwa cinta yang hadir bukan praduga
Amini doaku, moga semesta punya rencana yang lain tuk mempertemukan kita kembali
Ternate 13 maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PERCAKAPAN BAHASA TIDORE HARI-HARI

BAB I Analisis Makna Verbal dan NonVerbal Tradisi Lisan Kabata Masyarakat Tidore Kecamatan Tidore Utara Kelurahan Afa-Afa

opini singkat, "ketika cinta telah memeliki standar, maka kamu hanya ingin dimiliki berdasarkan standarnya"