cerpen


JALANAN
            Jalanan kampus masih basah, ketika hujan dan bumi tuntaskan rindu dalam mendung, dan di sudut kampus ada lelaki yang terduduk lesu dengan kreetek di tangannya sambil bersandar dengan raut wajah yang begitu berat. Namanya rangga mahasiswa angkatan 2015, ia dikenal oleh taman-temannya sebagai orang yang idealis, dan di kalangan dosen-desen mengenalnya sebagai pembrontak, itu sebabnya ia belum juga wisuda.
            Selain membrontak terhadap sesuatu yang bertantangan dengan ia, rangga juga memeliki hobi sebagai seorang pejalan. Karena baginya jalanan adalah tempat mengasah rasa dan berbagi cinta sesama manusia. Sore kembali menyapa, jalan-jalan kampus perlahan mengering oleh geningan rindu hujan pada bumi, rangga menuju ruang kulia untuk mengikuti perkuliahan disore itu, setibanya di muka pintu, ia mendapati pak doni telah masuk ke kalas, pak doni adalah sala satu dosen senior di program studi bahasa Indonesia, pak doni terkenal galak di kalangan mahasiswa bahasa Indonesia tapi tidak bagi rangga karena bagi rangga dosen dan mahasiswa adalah mitra tidak ada tuhan dalam kelas. Merasa bersalah karena terlambat rangga memberi salam dan momohon izin untuk mengikuti perkuliahan, tak disangka malahan rangga jadi bahan gurau pak doni dan mahasiswa yang telah ada di dalam kelas, dengan penampilan yang urakan ia dihina dosen dan di tertawakan oleh taman-teman yang duduk seperti kerbau dalam ruangan. Pak dino terus berkomentar tentang rangga.
Pak dino : kamu tau jam berapa ni ?
Rangga : pak tau esensi pindik itu apa?
Pak dino : kamu bilang apa ?  tidak punya etika kamu keluar dari kelasku
Rangga : pak bicara etika intropeksi diri siapa yang tidak punya etika pendidik hari ini, dan tidak paham esensi pendidik jangan mengajar, kalau tujuan mengajar hanya cari uang lebih baik pak buka bisnis ditampet yang lain, sebab pendidik itu memeliki tugas paling penting dimuka bumi ini.
Pak dino : keluar kamu dari runganku
            Kejadian sore itu di kelas pak dino rangga menjadi wacana di kalangan dosen hingga ke seluruh mahasiswa, mungkin namanya taka asing lagi di dosen-dosen program studi bahasa Indonesia, rangga mendapat surat panggilan dari ibu program studi. Gaya jalan yang santai dan kretek di tangan, rangga jalan menuju ruangan ibu program studi, sesampainya di raungan program studi, rangga mematikan kreteknya dan mengetuk pintu.
Rangga: tok-tok aslamualikum ibu
Ibu prodi : masuk,
Dengan keyakinan bahwa ia tak bersalah, rangga tetap santai masuk ke ruangan ibu prodi
Ibu prodi : eh, rangga silakan duduk, kamu sudah dapat surat panggalin dari ibu kan.
Rangga ; iya ibu, saya sudah mendapatkannya, tapi saya bingung ibu salah saya dimana ibu, karena isi surat menerangkan bahwa saya salah
Ibu prodi : begini rangga, kemarin kamu di adukan oleh pak doni, jadi hasil keterangan pak doni kamu masuk kelas terlambat dan membuat ke onaran di kelas dengan membentak pak doni. Jadi ibu buat surat ini untuk menanyakan langsung ke kamu, apa betul kemarin kamu terlambat dan buat keonaran di kelas samapai membantak pak doni?
Rangga: dengan suara yang santai dan penuh emosi, rangga angkat suara, “jadi bu, sebelum masuk pada masalah saya dengan pak doni, saya menilai ibu tidak bijak dalam mengambil keputusan soal perkara ini karna ibu langsung melayangkan surat dan menuduh saya membuat kesalahan tanpa mendengar penjalasan saya. Tapi tidak usahlah membahas maslah itu mungkin itu wakat birokrasi saling menutupi kesalahan satu sama lain.
Dengan nada marah Ibu prodi langsung komentar
Ibu prodi : rangga kamu ni dibilangin ko mala mau membrontak balik ke ibu…dasar kurang….
Rangga : kurang apa ibu, mau bilang saya kurangngajar sama dengan pak doni yang ngeledenin saya di kelas. Kenapa mereka yang di atas selalu merasa benar padahal salah. Ibu ini ruang akademik ruang dimana segala keputusan harus diambil dengan hasil analisis bukan praduga. Apalagi ini fakultas keguruan yang otomatisnya para pendidik disini paham esensi pendidik itu apa, tapi hanya paham tanpa di ikuti dengan iplemantasi maka hanya omong kosong, saya jenuh dengan kondisi ruang kelas yang dimana watak pendidik tak ubahnya seperti dewa, ibu perna dengar pernyataan gie sala satu aktivis 1966 ia mengatakan “guru bukan dewa dan siswa bukan kerbau yang ditarik-tarik” . Katanya pendidik itu mempersiapkan anak muda untuk menuju masa depan tapi faktanya resep yang diberikan pendidik hanya membunuh kreatifitas anak muda saat ini.
Komentar panjang dari rangga membuat ibu prodi tak bisa berbicara apa-apa dan demi menutupi rasa malunya ia mengusir rangga dari runganya.
Ibu prodi : keluar dari ruangan saya, kamu akan saya jamin dapat sangsi.
Rangga : kebenaran itu mahal harganya ibu.
Setelah membalas Komentar dan di usir dari ruang prodi, rangga meninggalkan ibu prodi dalam rasa malu yang begitu besar. Setelah perdebatan panjang dengan ibu prodi rangga kembali menjajaki kakinya di langit-langit semesta menumpakan asa dalam amarah tentang kampus yang tak lagi demokratis. 
Kalau kebenaran telah dibungkam
Aku siap jadi peluruh
Merobek-robek kebohongan yang dimainkan dengan kata-kata
Walau aku harus di asingkan
Seperti apa yang dikatakan gie
Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di atas kasur.
Di persimpangan jalan ia berbagi sajak pada semesta tentang cinta dan rindu, sebab jalanan adalah tempat berlabuh terahir seorang pejalan dalam mengasa rasa. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PERCAKAPAN BAHASA TIDORE HARI-HARI

BAB I Analisis Makna Verbal dan NonVerbal Tradisi Lisan Kabata Masyarakat Tidore Kecamatan Tidore Utara Kelurahan Afa-Afa

opini singkat, "ketika cinta telah memeliki standar, maka kamu hanya ingin dimiliki berdasarkan standarnya"